24 May, 2007

Sama aja

Ini cuma cerita,...... tapi kalo mo serius ngartiiinye bole juga.

Gini,..
Suatu ketika, sebuah harian terkemuka di Jakarta dengan nada yakin dan juga agak angkuh menyajikan satu hasil survey (tidak disebutkan siapa yang menyelenggarakan survey tersebu) yang menyatakan bahwa ".... ternyata dengan meyakinkan terbukti bahwa 50% dari pejabat negara adalah koruptor".
Tentu saja hasil survey itu membuat para pejabat yang tersinggung seperti kebakaran jenggot. Berbagai pernyataan, penolakan, bahkan protes pun dilancarkan. Terakhir, pimpinan dari para pejabat tersebut dengan diam-diam (secara rahasia getoooh) mendatangi kepala redaksi harian tersebut dan mengancam akan mencabut izin penerbitannya apabila tidak meralat berita tersebut pada hari yang lainnya, yang isinya ditentukan sendiri oleh pimpinan para pejabat tadi.
Sekarang giliran redaktur harian tersebut yang kebakaran jenggot. Dia terus berfikir apakah akan memegang tegus keyakinan dan kejujurannya,... atau ia akan menggadaikan keyakinannya itu demi kelangsungan "usaha" dibidang percetakan mediamassa itu.

Hasilnya, ..... pada keesokan harinya ternyata ada ralat di harian tersebut yang mengatakan bahwa:.. " kami mohon maaf atas kesalahan cetak pada isi dari pemberitaan kemarin,...yang sebarusnya dalah berbunyi: '....ternyata dengan meyakinkan terbukti bahwa 50% dari pejabat negara kita adalah bukan koruptor".
...........................ahhhhh redaktur pun lega.............. para pejabat pun tenang................................
yang bingung ya cuma saya sendiri.

04 May, 2007

Kampoeng Naga

Baca artikel "orang perkasa dari Baduy" saya jadi teringat pengalaman sya waktu "mampir" ke satu perkampungan tua di dekat Garut (katanya sih masih masuk wilayah kabupaten Tasik). Namanya Kampung Naga. Sebenernya ga ada rencana pergi ke sana. Tapi saya meresa bersyukur karena bisa ke sana dan pengelaman yang saya dapet juga menarik untuk saya ceritakan di sini.

Sepulang dari Ciamis bulan April lalu untuk silaturrachmi dengan keluarga bi Yayah atas kebahagiannya menikahkan Acep, walaupun telat karena pada hari H-nya saya tidak bisa berangkat, dan selamatan nini, saya berencana pergi ke Garut tepatnya ke Cipanas karena hal itu sudah lama saya janjikan ke anak-anak. Hari itu, Sabtu 7 April 2007, pagi-pagi saya berangkat ke arah Garut, melalui Tasikmalaya. Dalam perjalanan saya teringat ada satu kampung tua yang bernama kampung naga. Saya tawarkan ke anak-anak dan istri saya untuk mampir, dan ternyata mereka antuasias untuk dapat mendatangi kampung tersebut.

Kampung naga adalah satu desa tua yang terletak di satu lembah dan dikelilingi perbukitan. Itulah sebabnya kenapa disebut kampung naga, yaitu "Na gawir" (yang letaknya dina gawir/jurang/lembah). Perjalanan ke desa itu rupanya tidak mudah. Karena letaknya ada di bawah lembah, kami harus menuruni anak tangga yang cukup curam dan jauh jaraknya. Walaupun tidak sempat menghitungnya, katanya jumlah anak tangga itu sekitar 380-an. Dari ujung anak tangga itu, kami harus berjalan kaki lagi di antawa pesawahan yang sangat hijau dan sejuk walaupun matahari cukup terik saat itu, jaraknya kurang lebih 500-an meter.

Kelelahan kami tak sia-sia karena setelah berjalan kaki 20 menit, kami sampai di kampung naga. Saya sangat kagum. Masyarakat kampung naga sangat taat terhadap segala ketentuan yang berlaku di sana. Desa tua itu ternyata dibedakan dalam dua wilayah besar, yaitu "wilayah bersih" yakni wilayah yang berada di dalam pagar yang berisi rumah-rumah masyarakat adatnya, mesjid dan "rumah besar" sebagai pusat kegiatan adat di sana. Di Luar wilayah itu (di luar pagar) disebut sebagai "wilayah kotor" yaitu kolam pemeliharaan ikan, kandang-kandang kambing, WC (di atas kolam ikan) juga tempat numbuk padi dll. Yang unik juga, rumah-rumah mereka kanya boleh berpintu satu yang letaknya di depan sebelah kiri, juga tidak diperbolehkan memiliki meja kursi, tempat tidurnya hanya alas tipis biasa (tikar tebal) dan tidak ada lemari pakaian (pakaiannya di taro di mana?). Tidak ada listrik di sana. Jadi ya kalo malam mereka hanya pake "cempor" untuk penerangan secupuknya. Karena "wilayah bersih" mereka sudah penuh, maka tidak ada lagi menambahan unit rumah di sana. Jadi bila ada pasangan yang menikah, mereka memisahkan diri ke luar desa itu (di sekitar kampung naga) yang ternyata hampir semuanya "saudara" dari orang kampung naga. Kegiatan mereka adalah bertani, dan mereka hanya bertani di tanah adat yang mengelilingi kampung itu. Hasil dari pertaniannya tidak ada yang dijual, tapi hanya untuk kepentingan mereka sampai musim panen berikutnya. Jadi untuk tambahan hidup sehari-hari, kaum ibu-nya membuat berbagai kerajinan dari bambu (anyaman bambu) yang bisa dijual kepada pengunjung.

Masayarakat kampung naga sangat perhatian terhadap keaslian lingkungan. Kesadaran itu muncul berkenaan dengan pentingnya air dalam adat mereka. Mereka sangat takut bila air disekitar mereka berkurang atau habis. Ada dua hutan di sekitar desa itu yang oleh adat dilarang untuk "dijamah" oleh siapapun termasuk oleh masyarakat mereka sendiri. Mereka hanya diperbolehkan mengambil hasil dari tumbuhah yang ada di garis luar hutan tersebut. Dalam kesempatan saat itu juga anak-anak berkesempatan diajarkan oleh salah satu pemuda desa cara membuat "huhurangan" dan "simet" yang dianyam dari daun kelapa.

Setelah puas, kami meningglkan kampung naga dengan pesona yang tidak bisa kami lupakan, dan anak tangga dengan "tanjakan" yang panjang dan curam.....

Wah.....

Cape, tapi seru banget deh. Saderek-saderek yang belum kesana bisa coba untuk mampir di sana. Pasti seru.