04 August, 2006

Paksa atau sukarela


Pendidikan bagi anak-anak,... semua pasti setuju merupakan salah satu "kebutuhan" keluarga. Semua orang tua tentunya ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Semua berlomba sekuat tenaga ingin menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah pavorit di lingkungannya. Sampai-sampai sebagian dari kita lupa bahwa pendidikan itu bukan hanya menyekolahkan anak-anak, tapi juga segala pengetahuan yang kita miliki, kebiasaan-kebiasaan baik, yang semuanya mengkristal menjadi tauladan yang dengan sangat mudah diikuti dan bisa mendarah daging pada diri anak-anak kita.
Saya punya pengalaman unik mengenai hal ini. Anak kedua saya, Chiara, pada usianya yang ke 3 ingin sekolah bersama teman-temannya. Jadi saya daftarkan di sekolah yang menurut saya bagus, menurut saya. Hal yang unik dari anak saya adalah, ia tidak suka pakaian yang berkancing (semua pakaian hariannya kaos oblong). Jadi saya minta pihak sekolah untuk membuat khusus seragam anak saya tidak berkancing, tapi dengan sleting.
Hari pertama masuk sekolah seprtinya tidak ada masalah apa-apa, sampai pada hari ke tiga ia tidak mau masuk sekolah. Ada apa?.... sampai hari ini saya tidak berani menebak ada apa. Ia hanya beralasan tidak mau memakai baju yang berkancing,.. padahal baju seragamnya tidak berkancing. Beberapa hari kemudian saya tawarkan untuk masuk kembali ke sekolah, ia mau, tapi harus diantar. Tapi hari berikutnya dan hari-hari setelah itu ia tidak mau pergi ke sekolah lagi.
Rugikah saya?.... secara finansial saya mungkin rugi, karena uang yang telah saya bayarkan tidak bisa dikembalikan oleh sekolah. Tapi yang lebih rugi lagi adalah batin saya yang merasa tidak bisa memberikan "pendidikan" kepada anak saya ini. Saya sering mengeluhkan masalah ini (curhat) kepada rekan-rekan saya yang mungkin punya pengalaman yang sama. Tapi tidak juga mendapat jawaban, sampai saya menemukannya sendiri dari dalam diri saya,.. hati saya,... bahwa pendidikan yang saya maksud bisa saya berikan dari lingkungan rumah saya sendiri. Dan yang paling saya rasakan "manjur" adalah memberikan contoh kepada anak-anak tentang segala sesuatu yang kita anggap baik. Saya tidak memaksakan sesuatu yang dia tidak mampu melakukannya. Tidak mau sekolah...........? biarlah, saya akan sabar menunggu sampai dia mau.
Sampai dia berumur hampir lima tahun dia belum juga mau masuk sekolah, sementara teman-teman seumur di lingkungan saya sudah sekolah semua. Tapi kesabaran saya itu rupanya diperhatikan oleh Allah. Beberapa saat sebelum masa sekolah mulai, anak saya mau sekolah dan memilih sekolah yang, menurut saya, kurang bagus. Tapi ternyata saya yang salah. Anak saya sangat menikmati kegiatannya di sekolahnya yang sekarang, yang menurut saya lebih "sumpek", fasilitasnya kurang memadai, dll. Saya kaget karena dalam waktu kurang dari 2 minggu anak saya sudah dapat melafalkan beberapa doa, surat pendek,... dan ia lebih percaya diri dan mandiri. Padalah saya berencana, sebelumnya, akan "memaksa" anak saya untuk sekolah,.... saya salah.... saya tahu itu.
Sekarang anak saya duduk di TKB, dan dari raut mukanya saya tahu bahwa dia senang karena telah mendapatkan apa yang ia inginkan, bukan paksaan dari saya, tapi ia mendapatkannya sendiri.....secara sukarela.
Mudah-mudahan pengalaman ini ada manfaatnya bagi diri saya dan keluarga, juga tentunya bagi saudara-saudara yang lain yang punya masalah yang sama. Jangan putus asa,.. jangan kecewa,... percayalah Allah telah mentukan rencanaNya yang sangat sesuai bagi kita.

5 comments:

Herli Salim said...

Well done...Iwan. Pendidikan itu merupakan bekal utk masa depan. Pendidikan usia dini spt Chiara ini hrs dinikmati betul oleh ybs. Bila hal ini ada sejak kecil, maka ia dapat menumbuhkan kapasitas dirinya yg maksimal sejak dini. Ia akan menjadi dirinya secara penuh sejak awal usianya. Peranan orang tua hanyalah memfasilitasi semuanya itu spy ybs mudah mengekspresikan dirinya. Jadi beyul kita hrs menjadi contoh ' uswatun hasanah' dlm semua hal. Satunya kata dan perbuatan. Anak akan secara gampang mengikuti apa yg dianjurkan org tua. Ada baiknya di rumah disediakan ' silent corner' (sudut/tempat tenang utk anak membaca, belajar, berkeksperimen). Di tempat itu pula org tua bisa 'mengencourage' (memberi semangat) anak dgn cara ya baca koran, majalah atau baca al Qur'an. Selagai anak kita berada di area itu. Believe bro! the result is extremely tremendous! My first son tries to be a writer when he sees me very often preparing my articles/ or tasks. Now he is really a good writer. Jadi mari kawal potensi anak tanpa hrs org tua banyak intervensi. Org tua itu hanya 'menjagai jalan'. Nah gitu kali ya... Salam buat keluarga dari Mang Aang, Bi Ita di Melbourne

Herli Salim said...

Oh ya Wan... jadi ingat. Peranan orang tua itu pernah dikupas secara mendalam oleh Ki Hajar Dewantara. Bahkan menjadi motto juang pendidikan Indonesia: Di depan memberi contoh. Di Tengah memberikan semangat. Dan Di belakang mengawasi. Bahasa Jawanya ' Ing madyo mangun karso tut wuri handayani" ( Benar ga ya bahasa Jawanya)... Ok met berjuang dan berkiprah...Salam sono selalu.

Herli Salim said...

Eit... ada yg kelewat lengkapnya gini: "Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" Itu hasil koreksian Bi Ita. Ada yg kelewat bagian depannya. Bi Ita kan ngerti Jawa. Ia dari Pati-Kudus,Jateng. Jadi ngertos bahasa Jawa.Mangga atuh...

urang kertasari said...

Petama-tama ingin ngucapin
"SELAMAT" untuk dapat menulis pan jang lebar yang tadinya katanya nggak bisa nulis. Nah, apakah itu karena keterpaksaan harus nulis jadi bisa nulis atau "kebetulan"? Hehe... jadi keterpaksaan kadang-kadang dibutuhkan untuk bisa "mengejar" sesuatu ya? OK, good luck. BTW, nggak diceritain hari-hari awal dia masuk sekolah?

Anonymous said...

layaknya manusia.... anak memiliki keinginan... cita-cita... dan harapan. sebagai orang tua kita hanya sanggup mendukung dan "meluruskan". selama apa yang dipilihnya itu baik , dukung... tapi jika sudah menyimpang... luruskan..

Nb: Salam buat aya ya ang... keknya makin lucu aja tuh si aya.... BTW kapan maen krumah ang... ??